Pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini
mengalami kondisi yang memprihatinkan. Nilai-nilai moral dan budaya yang
seharusnya menjadi ciri khas anak bangsa negeri ini semakin terkikis dan kian
menghilang. Kini telah ramai terdengar remaja bertindak anarkis di berbagai
kota, meningkatnya pula penyalahgunaan narkoba, dan berbagai macam kasus
pergaulan bebas di kalangan pelajar merupakan bukti bahwa pendidikan telah gagal membentuk akhlak yang baik kepada
anak didik.
Pendidikan selama ini memang telah
menciptakan penerus bangsa yang mampu menguasai ilmu sains dan teknologi
melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada
dirasa tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan atau karakter yang baik.
Pendidikan juga masih menghasilkan
lulusan berakhlak buruk seperti sering berbuat curang, pecandu narkoba, tidak
memiliki kepekaan sosial, dan serakah. Tak heran jika seringkali kita jumpai
berita-berita mengenai petinggi negara dan lembaga pemerintahan yang melakukan
korupsi dengan jumlah yang fantastis. Hal ini tentu saja merugikan negara, dan
warga negara yang telah menunaikan kewajibannya membayar pajak untuk
kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, dalam kurikulum 2013
kini, filsafat pendidikan dirasa menjadi asas terbaik untuk mengadakan
penilaian pendidikan dalam arti menyeluruh. Penilaian pendidikan meliputi
segala usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dan institusi-institusi
pendidikan.
Filsafat pendidikan dapat menjadi
sandaran intelektual bagi para pendidik untuk membela tindakan-tindakan mereka
dalam bidang pendidikan. Dalam hal ini juga sekaligus untuk membimbing pikiran
mereka di tengah kancah pertarungan filsafat umum yang mengusasi dunia
pendidikan. Filsafat pendidikan positivisme akan membantu guru sebagai pendidik
untuk pendalaman pikiran bagi penyusunan kurikulum dan pembelajaran serta pendidikan
siswanya di sekolah, kemudian mengaitkannya dengan faktor-faktor spiritual,
sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain, dalam berbagai bidang kehidupan untuk
menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya.
Aliran
Filsafat Positivisme
Sebagaimana dikemukakan oleh John M. Echols (1982:439), Kata Positivisme
merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive
dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti,
meyankinkan. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang
berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan
berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme
berarti aliran filsafat yang beranggapan
bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu
yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu
seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi. Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau
apa yang nampak, manusia tidak pernah mengetahui sesuatu dibalik fakta-fakta.
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah
filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang
didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa
dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat,
yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Begitu pula yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. R. F. Beerling (1961:84), bahwa akar utama dalam neo-positivisme
terletak dalam perkembangan ilmu pasti dan ilmu alam modern. Perkembangan ini
memperlihatkan kecenderungan ke arah ketelitian logika dan pendasaran dengan
aksioma-aksioma.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran
ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur melalui metode ilmiah (scientific method) dengan
memasukkan eksperimen dan ukuran-ukuran. “Terukur” inilah sumbangan penting
positivisme. Misalnya, mengenai panas. Positivisme mengatakan bahwa air
mendidih adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan
yang lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran-ukuran
tadi adalah operasional, kuantitatif, dan tidak memungkinkan perbedaan
pendapat.
Tokoh
Aliran Positivisme
Pendiri sekaligus tokoh terpenting aliran
positivisme adalah Auguste Comte (1798-1857). Auguste Comte adalah figur yang
paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme.
Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari
sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Auguste Comte, yang bernama
lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier
Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee
Joffre dan Universitas Montpellier.
August Comte adalah tokoh aliran
positivisme yang paling terkenal. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat
merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat
dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini
tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan
kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang
sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi
Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab
akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.
Dalam usia dua puluh lima tahun, Comte
studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari
pikiran-pikiran kaum ideolog. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya,
dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan
intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat
bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia
dan masyarakatnya. Akan tetapi pada tahun 1825, Comte akhirnya memutuskan untuk
memisahkan diri dari Saint-Simon dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang
berjudul “Sistem Politik Positif” tahun 1825. Sebuah karya lainnya adalah Cours
de Philosophia Positive (kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam
mencipta ilmu sosiologi.
Konsep
Positivisme
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat
yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat.
Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
1.
Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.
2.
Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari
syarat-syarat hidup.
3.
Metode ini berusaha ke arah kepastian.
4.
Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Menurut
Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 zaman, yaitu:
1.
Pada zaman teologis; manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala
tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak
seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang
lebih tinggi daripada makhluk biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya
pada masyarakat primitif yang masih
hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk
menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme
merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada
politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya
dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan
godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan
yang menetap ditiap sawah.
2.
Zaman metafisis atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte
karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya.
Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan
gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa
empiris.
3.
Zaman positif, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan
perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi
berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara
empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya
adalah bila kita memperhatikan kuburan manusia yang
sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena
adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan
tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada
tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.
Seperti yang dikemukakan Misnal Munir
(2000:87), filsafat positivisme pengalaman dengan teori berjalan seiring. Bagi
Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar
sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi,
dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte
juga menekankan pandangannya pada hubungan antara fakta yang satu dengan fakta
yang lain. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat atau
asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan hubungan antara
gejala yang satu dengan gejala yang lain.
Auguste Comte mengakhiri pemahamannya
dengan pandangan positivistik bahwa semua yang ada harus empiris, realistik,
dan ilmiah. Jika keluar dari persyaratan itu, hal tersebut tidak dinamakan
dengan eksistensi. Manusia yang meyakini keberadaan yang tidak nyata adalah manusia
yang rasionalnya masih dijajah oleh pemahaman mitologis atau metafisik. Sementara
pemahaman teologis bersifat spekulatif yang merupakan masa pencarian kebenaran
manusia. Manusia pada akhirnya akan mengakui bahwa yang benar adalah yang positif,
faktual, dan realistis.
Pandangan dan penemuan ilmiah manusia
mengenai alam jagat raya ini telah mendorong lahirnya filsafat pendidikan
berbasis positivisme. Pendidikan diarahkan pada suatu tujuan yang realistic.
Pengembangan kurikulum ditekankan pada suatu proses penciptaan anak didik yang
rasional dan empiris. Masyarakat harus menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan
tidak bergantung pada mitos dan berbagai legenda karena semua itu akan membuat
masyarakat bodoh. Kehidupan bergantung pada kebutuhan yang nyata, pasti, dan
rasional. Oleh karena itu masyarakat harus melihat pengetahuan dengan
memperdalam pendidikan yang empiris dan realistik. Pendidikan harus berbasis
pada penelitian dan kebenaran yang pasti dan indrawi.
Filsafat
Positivisme terhadap Pendidikan Indonesia
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia
ialah menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari
segi kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui
bidang pendidikan.
Melalui filsafat positivisme, pendidikan
diarahkan kepada hal baik dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan
untuk menciptakan anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta
didik diasah dalam kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta, menganalisis
sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya. sehingga diharapkan dapat
terbentuknya anak bangsa yang kreatif, berkarakter, serta mampu berkontribusi
dalam pembangunan bangsa agar lebih baik dan mampu bersaing dengan negara
asing.