Untuk mengungkapkan asal usul tangerang sebagai kota
"Benteng", diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut
sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC, resolusi tanggal 1 Juni
1660 melaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di
sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan
Banten telah memindahkan 5.000 sampai 6.000 penduduk.
Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan
bahwa Sultan Banten telah mengangkat Raden Sena Pati dan Kyai Demang sebagai
penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden
Sena Pati dan Kyai Demang dipecat oleh Sultan. Sebagai gantinya diangkat
Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian
tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4
Maret 1680 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Kyai
Dipati Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan
VOC dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam
Dag Register tanggal 2 Juli 1682). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat
di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar VOC.
Ketika bertempur dengan Banten, Soeradilaga beserta ahli perangnya
berhasil memukul mundur pasukan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia
diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja
diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga
diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke
dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I.
Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17
April 1684, Tangerang menjadi daerah kekuasaan VOC. Banten tidak mempunyai hak
untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu
pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: Dan harus diketahui dengan pasti
sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi
maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa
atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran
sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari
daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang
Untung Jawa at au Tangerang akan
menjadi milik atau ditempati VOC.
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah
luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka
dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai
Tangerang, karena orang-orang Banten selalu melakukan penyerangan secara
tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat pada tahun 1692, pos yang paling tua
terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru.
Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah
Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3
April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya
berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok.
Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan
diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam
pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan
penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan
punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang
Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig (Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan
tinggal di luar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh
dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa
dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang
direkrut sebagai serdadu VOC. Benteng ini kemudian menjadi basis VOC dalam menghadapi
pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk
memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60
roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17.
Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan
"Benteng". Sejak saat itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng.
Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut
"Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816
menyatakan: ...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak
seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan
diambil orang untuk kepentingannya.
0 comments:
Post a Comment