Sungai Cisadane


Sungai Cisadane merupakan sungai besar yang melintasi kota Tangerang. Selama berabad-abad, para pedagang  memanfaatkan aliran Cisadane untuk berlayar ke Tangerang. 
Sebelum disebut Cisadane, sungai ini aslinya bernama Sadane .  Ci dalam bahasa Sunda artinya sungai . Sedangkan kata Sadane , berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti istana kerajaan . Sehingga nama Ci Sadane  atau Cisadane berarti sungai yang berasal dari istana kerajaan. Kemungkinan yang dimaksud istana kerajaan adalah KerajaanPajajaran  dengan ibukota di Pakuan, Bogor.
Aliran Cisadane berasal dari anak-anak sungai yang berhulu di lereng Gunung Pangrango dan Gunung Salak di daerah Bogor. Dari lereng gunung, aliran Cisadane memasuki wilayah Bogor (dulu wilayah Kerajaan Pajajaran), melintasi kota Tangerang, lalu bermuara di Tanjung Burung, dan selanjutnya ke Laut Jawa.
Panjang sungai Cisadane dari hulu hingga ke hilir, sekitar 125 kilometer. Dari bagian hulu hingga sampai Tangerang, Cisadane memiliki tebing sungai yang terjal dan dalam. Namun, selepas Tangerang menuju muara, tebing sungai kian rendah, dan aliran sungai mulai melebar.
Setiap mahluk hidup dimuka bumi ini memiliki ketergantungan kepada sungai atau air. Karena itu keberadaan lingkungan ekosistem sungai yang terjaga akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Begitupula fungsi dari sungai Cisadane ini.
Meski penting dalam memenuhi kebutuhan hidup utama, namun upaya pengelolaan wilayah sungai ini seperti tidak diperhatikan. Bila kita menyusuri sungai ini kita akan dikejutkan dengan banyaknya sampah yang berserakan. Baik itu di pinggir sungai, di bibir sungai, maupun di tengah sungai. Saat hujan turun, debit air naik, sampah-sampah tadi mengalir berarak, persis seperti karnaval!

Ironisnya, masih banyak warga yang memanfaatkan sungai ini untuk tempat cuci kakus dan mandi. Di daerah Cisalopa, tepat sekitar 50 meter dari saluran pembuangan limbah Sekolah Polisi Negara (SPN), banyak ibu-ibu dan gadis muda mencuci pakaian dan alat makan. Padahal menurut warga sekitar, saat SPN “mengeluarkan” kotorannya, baunya bisa tercium sampai jarak 300 meter. Dan biasanya, mereka “buang hajat” saat hujan turun.
Memang biasanya, industri menengah dan besar yang ada di sekitar sungai, membuang sisa kotorannya ke sungai saat turun hujan. Bila kita mengamati sungai cisadane saat turun hujan, air sungai cisadane akan berubah warna menjadi menghitam. Menurut penyelidikan lebih lanjut, ternyata itu adalah aliran limbah dari PT. Mayora.
Menjadi sebuah kewajaran kalau saat ini kualitas Sungai Cisadane, maupun sungai-sungai lain di negeri ini mengalami mengalami penurunan kualitas. Dan langkah-langkah pembangunan pun selalu difokuskan kepada pembangunan infrastruktur. Benar itu adalah sesuatu yang penting dan memang perlu segera dilakukan. Pembuatan waduk sebagai sarana penampung air, normalisasi waduk dan sungai untuk optimalisasi fungsi. Namun ada hal yang lebih penting dari itu. Pengelolaan sumberdaya manusia dan penegakan hukum.
Manusia-manusia di negeri ini, harus selalu diingatkan untuk menjaga lingkungannya. Himbauan buang sampah pada tempatnya, bukan ke sungai, hal sederhana namun memiliki dampak luar biasa. Banyak lembaga penelitian menyebutkan, limbah rumah tangga menjadi tingkat penceraman sungai yang utama. Kalau kita lihat dari kuantitas, atau dilihat kasat mata, mungkin itu benar. Namun apakah industri yang membuang limbahnya ke sungai tidak lebih membahayakan? Bahan-bahan kimia yang digelontorkan tersebut, sepertinya lebih memacu penurunan kualitas air dibanding “air kecil atau air besar” yang dibuang masyarakat.
Kita juga memiliki banyak produk hukum dan regulasi yang dikeluarkan untuk mengatur pengelolaan sungai atau daerah aliran sungai. Namun lagi-lagi kenyataan dilapangan, semua seperti tak ada aturan. Di daerah Muara Jaya, ada sebuah pabrik yang mendirikan benteng bangunannya di badan sungai! Bukan lagi di sempadan sungai, apalagi berjarak 10-50 meter dari sungai sesuai aturan, tapi di badan sungai! Melihat kondisi tersebut, saya jadi bertanya, apakah perundangan dan peraturan memang dibuat untuk sengaja dilanggar? Atau coba ditegakkan, tapi pada akhirnya tak berjalan, yah biar saja, yang penting bisa korupsi.
Balik lagi ke sampah, sepertinya di wilayah sini kita bisa ikut berpartisipasi dalam upaya menahan laju kerusakan. Untuk menghambat penurunan kualitas sungai secara drastis, kita harus merubah pola pikir bahwa sungai bukan halaman belakang rumah, yang bisa diperlakukan seenaknya. Buang sampah kesitu, air kecil air besar kesitu, kasur tak terpakai kesitu. Padahal sehari-hari mandi, cuci baju, cuci pakaian disitu. Orang kota pun sama, mereka menggunakan air yang sama dengan orang diwilayah hulu. Jadi tidak ada lagi batasan bahwa yang wajib menjaga sungai adalah orang yang tinggal di wilayah hulu. Menjaga sungai adalah kewajiban kita semua. Karena kita sama-sama menikmati manfaat dari sungai tersebut.
SHARE

Alvianica Nanda Utami

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment